Translate

Selasa, 26 Juni 2012

makalah tentang adopsi


I.            PENDAHULUAN
II.            PERMASALAHAN
Mengenai pengertian dan permasalahan adopsi yang terkait masalah:
A.    Konsep hubungan keluarga
B.     Wali, waris, dan nafkah

III.            PEMBAHASAN
Pengangkatan anak atau bahwa pengangkatan anak dalam istilah Hukum Perdata Barat disebut Adopsi. Dalam kamus hukum kata adopsi yang bersasal dari bahasa latin adoption diberi arti pengangkatan anak sebagai anak sendiri.
Adopsi adalah penciptaan hubungan orang tua anak oleh perintah pengadilan antara dua pihak yang biasanya tidak mempunyai hubungan/ keluarga.
Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua angkat.[1]
Anak angkat ialah seorang anak dari seorang ibu dan bapak diambil oleh manusia lain untuk dijadikan sebagai anak sendiri.[2]

A.    Konsep Hubungan Keluarga
Praktik pengangkatan anak selama ini di indonesia hanya diselenggarakan secara hukum adat dan hukum Perdata Barat (BW). Hal itu dilakukan juga oleh orang islam. Pada masyarakat adat arab jahiliyah terdapat juga kebiasaan pengangkatan anak. Masyarakat adat jahiliyah menghukumkan anak angkat sama dengan anak kandung bagi orang tua angkatnya, sehingga menimbulkan salah satu sebab adanya hak mewaris, juga putusnya hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua kandungnya.
Akibat hukum yang terdapat dalam praktik pengangkatan anak, baik pada masyarakat adat di indonesia, dan adopsi pada hukum BW, adalah sebagai berikut:
a.       Putusnya hubungan keperdataan/nasab antara anak angkat dengan orang tua kandungnya.
b.      Hubungan keperdataan dan kekerabatan/nasab anak angkat itu beralih menjadi kekerabatan  orang tua angkatnya.
c.       Status hukum anak angkat adalah sebagai anak sah dan sama kedudukannya dengan anak kandung dengan segala hak dan kewajibannya.
d.      Kedudukan anak angkat dalam mewarisi sama kedudukannya dengan anak kandung.
Namun dalam hukum islam tidak mengenal pengangkatan anak yang mempunyai akibat hukum seperti terdapat pada masyarakat adat dan BW di atas, yang menyebabkan putusnya hubungan hukum keperdataan antara anak angkat dengan orang tua kandungnya, dan kedudukannya sama seperti anak kandung orang tua angkat. Hukum islam bukan hanya tidak mengenal, tetapi juga melarang pengangkatan anak dengan akibat hukum sebagaimana tersebut diatas.
Ketika Rasulullah saw mengangkat seorang anak laki-laki bernama zaid anak Haritsah (Zaid bin Haritsah) kemudian para sahabat memanggilnya dengan “Zaid bin Muhammad”, turunlah Qs. Al-Ahzab [33]:4-5, yang mana ayat tersebut merupakan konsepsi material di bidang pengangkatan anak dalam kaitan dengan hubungan hukumnya dengan orang tua kandung. Akan tetapi walaupun sudah sekian abad yakni sejak ayat itu diturunkan sebagai deklarasi Allah SWT tentang praktik pengangkatan anak, ternyata konsepsi al-Qur’an itu belum mendapat perhatian penuh dari umat islam, sehingga umat islam indonesia khususnya masih menundukkan diri kepada hukum adat dan hukum BW. Hal ini terbukti dari masih banyaknya masyarakat muslim yang menempuh pengangkatan anak versi BW dan hukum adat tersebut.
Ajaran islam berdasarkan ayat diatas setidaknya mempunyai empat prinsip sebagai garis hukum yang perlu dipedomani. Keempat peinsip tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Pengangkatan anak tidak menimbulkan hubungan hukum apa-apa antara anak angkat dengan orang tua angkatnya, kecuali sebatas memelihara, mengasuh, memberi pendidikan, dan lainnya untuk kemaslahatan dan kebajikan si anak.
b.      Hubungan hukum keperdataan si anak dengan orang tua kandungnya masih tetap dan tidak terputus.
c.       Panggilan untuk si anak adalah atas nama orang tua kandungnya, yakni bin atau binti-nya haruslah menggunakan nama ayah kandungnya.
d.      Jika orang tua kandungnya tidak diketahui, maka panggilan mereka sebagai saudara-saudara seagama.[3]
Adapun sebab-sebab yang menjadikan mengangkat anak ini haram hukumnya karena:
a)      Mencampurbaurkan peraturan Allah SWT didalam menyusun masyarakat dan keluarga hingga tidak jelas tanggungjawab manusia atas stiap hak dan kewajibannya, di dalam agama islam memutuskan tali kekeluargaan/silaturrahmi haram hukumnya apalagi melenyapkanny, karena hubungan darah itu adalah dari Allah semata yang telah diatur-nya demikian rupa dan manusia harus patuh pada ketentuan Allah.
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ مِنْ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (١٥١)
151. Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar[518]". demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).

[518] Maksudnya yang dibenarkan oleh syara' seperti qishash membunuh orang murtad, rajam dan sebagainya.


b)       Merampas hak milik orang lain sedangkan Allah telah membagi-bagi rizki setiap manusia.


أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا وَيَجْعَلُ مَنْ يَشَاءُ عَقِيمًا إِنَّهُ عَلِيمٌ قَدِيرٌ (٥٠)
50. atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.


c)        Melanggar peraturan Allah Swt tentang kekeluargaan dimana setiap keluarga itu mempunyai kehormatan sendiri dan bergaul sesama mereka dengan sistem hidup yang telah ditentukan oleh allah.
d)       Mengambil hak anak-anak kandung baik dala kasih sayang maupun dalam pembagian harta pustaka. Maka Allah berfirman:
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا لأنْفُسِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلاقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ (٢٢٣)
223. isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.


e)       Tidak membedakan antara yang halal dengan yang haram dimana didapatkan, anak-anak angkat itu dapat dikawini oleh masing-masing ibu dan bapak angkat dan begitu pula oleh anak-anak kandung dam keluarga mereka.
f)        perkawinan adalah dasar-dasar utama untuk mendapatkan anak yang sah.[4]

Mengambil anak angkat itu sudah terkenal juga dikalangan bangsa-bangsa Yunani dan Romawi pada zaman purba, dan pada budaya-budaya barat saat ini, islam mengharamkan perbuatan itu dengan tegas dan selama-lamanya, dan menutup erat-erat di hadapan usaha-usaha mereka yang terpengaruh dengan kebudayaan barat, antara lain dengan sebab:
·         Mengambil anak angkat itu adalah suatu kebohongan di hadapan Allah, dan dihadapan masyarakat manusia, dan hanya merupakan kata-kata yang di ucapakan berulang kali, tetapi tidak mungkin menimbulkan kasih sayang yang sesungguhnya seperti yang timbul dikalangan ayah, ibu dan kaum keluarga yang sesungguhnya. Dalam hal ini, Allah s.w.t. berfirman:
ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ (٤)
Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).(QS.Al-Ahzhab : 4)

·         Sering terjadi pengambilan anak angkat itu dijadikan sebagai suatu cara untuk menipu dan menyusahkan kaum keluarga, seperti yang banyak kita saksikan sekarang ini. Misalnya seorang laki-laki mengambil seorang anak angkat yang akan menjadi pewaris dari harta kekayaannya, dan dengan demikian berarti orang tadi tidak memberikan bahagian dari saudara-saudarnya dan ahli waris yang lain-lai, yang mempunyai hak dalam harta pusaka itu menurut ketentuan Allah.
·         Mengambil anak angkat dan menetapkan statusnya sama dengan anak kandung, kadang-kadang menimpakan beban dan tugas-tugas yang berat kepada kaum keluarga.[5]


B.     Wali Terhadap Anak Angkat
Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa dalam islam perbuatan hukum pengangkatan anak tidak berakibat berubahnya hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua kandungnya. Begitu pula hubungan hukumnya dengan orang tua angkatnya hanyalah sebatas peralihan pemeliharaan, pengasuhan, bantu pendidikan, pemenuhan kebutuhan hidupnya dan lainya dari orang tua kandung si anak kepada orang tua angkatnya. Hal ini dilakukan hanya semata-mata untuk kemaslahatan dan kebajikan si anak.
Dengan demikian, hubungan hukum anak angkat dengan orang tua kandungnya tidak berubah dan tidak putus karena adanya pengangkatannya sebagai anak angkat oleh orang tua angkatnya, oleh karena itu, jika anak yang diangkat itu perempuan, maka masalah perkawinannya tetap mengacu kepada ketentuan perwalian pernikahan secara umum, yaitu orang tua angkatanya tidak berwenang sama sekali menjadi wali nikahnya. Jika hal itu terjadi, maka perkawinannya dinyatakan tidak sah, karena orang yang bertindak sebagai wali nikah itu tidak berwenang. Jadi yang berhak menjadi wali nikah anak angkat tersebut adalah ayah kandungny, atau orang-orang yang secara prioritas berhak menjadi wali nikah.
Ada beberapa perbedaan prioritas wali yang ditemui antara pendapat fikih klasik oleh imam-imam mazhab dengan rumusan yang diatur oleh kompilasi hukum islam, antara lain adalah masalah orang-orang yang berhak menjadi wali secara prioritas, ulama’ fikih membagi kelompok wali nikah menjadi tiga macam. Pertama, wali nasab, wali mu’thiq, wali hakim.

C.     Hak Waris Anak Angkat
Dalam literatur hukium islam disebutkan bahwa, ada empat hubungan yang menyebabkan seseorang menerima harta warisan dari seseorang yang telah meninggal dunia, keempat hubungan itu adalah sebagai berikut:
a.       Hubungan kerabat, atau disebut juga hubungan pertalian darah, seperti anak terhadap bapak dan ibu kandungny, cucu dengan kakeknya dan sebagainya.
b.      Hubungan perkawinan, seperti suami dengan istri.
c.       Hubungan wala’, yaitu kekerabatan yang timbul akibat memerdekakan budak.
d.      Hubungan sesama islam, artinya bila seseorang meninggal dunia dan tidak mempunyai ahli warisnya diserahkan kepada baitul mal, dengan demikian hartanya diwarisi oleh umat islam.
Dari keempat sebab ahli mewaris tersebut, tampaknya anak-angkat tidak termasuk golongan yang mendapat warisan dari orang tua angkatnya, karena memang pengangkatan anak tidak menyebabkan timbulnya hubungan hukum saling mewarisi antara anak angkat dengan orang tua angkat.[6]

Namun demikian, para ulama mencari solusi agar anak dapat memperoleh bagian dari harta warisan orang tua angkatnya, yaitu dengan jalan hibah atau wasiat tidak dengan jalan warisan. Dan orang lain diluar dari keluarga sekali-kali tidak mendapat warisan sekalipun mereka boleh mendapat wasiat, dan wasiat itu tidak boleh melebihi 1/3 dari pusaka yang bersih/netto dan ini berarti hak ahli waris tetap berupa bagian yang terbesar, wasiat kepada anak kandung tidak diperbolehkan karena akan menimbulkan hasut dengki antara anak satu sama lainnya.[7]

D.    Nafkah Terhadap Anak Angkat



IV.            KESIMPULAN
V.            PENUTUP


[1] http//:www.pengangkatan anak (adopsi) oleh wasis priyanto,SH, MH.com
[2] Dr.Fuad Mohd. Fahruddin,masalah anak dalam hukum islam,Jakarta pusat 1985,hal:60
[3] Drs. H. M. Anshary MK, S.H., M.H.,hukum perkawinan di indonesia,pustaka pelajar yogyakarta, hal:115-116
[4] Dr.fuad….hal:61
[5] Zakariya Ahmad Al Barry, Hukum Anak-anak Dalam Islam,Bulan bintang jakarta,hal:34-35
[6] Hkm perkawinan
[7] Mslh anak dlm hkm islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar