I.
PENDAHULUAN
II.
PERMASALAHAN
Mengenai pengertian dan
permasalahan adopsi yang terkait masalah:
A. Konsep hubungan keluarga
B. Wali, waris, dan nafkah
III.
PEMBAHASAN
Pengangkatan
anak atau bahwa pengangkatan anak dalam istilah Hukum Perdata Barat disebut
Adopsi. Dalam kamus hukum kata adopsi yang bersasal dari bahasa latin adoption
diberi arti pengangkatan anak sebagai anak sendiri.
Adopsi adalah penciptaan hubungan
orang tua anak oleh perintah pengadilan antara dua pihak yang biasanya tidak
mempunyai hubungan/ keluarga.
Pengangkatan anak adalah suatu
perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang
tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan,
pendidikan dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua
tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua angkat.[1]
Anak angkat
ialah seorang anak dari seorang ibu dan bapak diambil oleh manusia lain untuk
dijadikan sebagai anak sendiri.[2]
A. Konsep Hubungan Keluarga
Praktik pengangkatan anak selama
ini di indonesia hanya diselenggarakan secara hukum adat dan hukum Perdata
Barat (BW). Hal itu dilakukan juga oleh orang islam. Pada masyarakat adat arab
jahiliyah terdapat juga kebiasaan pengangkatan anak. Masyarakat adat jahiliyah
menghukumkan anak angkat sama dengan anak kandung bagi orang tua angkatnya,
sehingga menimbulkan salah satu sebab adanya hak mewaris, juga putusnya
hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua kandungnya.
Akibat hukum
yang terdapat dalam praktik pengangkatan anak, baik pada masyarakat adat di
indonesia, dan adopsi pada hukum BW, adalah sebagai berikut:
a. Putusnya hubungan keperdataan/nasab antara
anak angkat dengan orang tua kandungnya.
b. Hubungan keperdataan dan
kekerabatan/nasab anak angkat itu beralih menjadi kekerabatan orang tua angkatnya.
c. Status hukum anak angkat adalah sebagai
anak sah dan sama kedudukannya dengan anak kandung dengan segala hak dan
kewajibannya.
d. Kedudukan anak angkat dalam mewarisi
sama kedudukannya dengan anak kandung.
Namun dalam
hukum islam tidak mengenal pengangkatan anak yang mempunyai akibat hukum
seperti terdapat pada masyarakat adat dan BW di atas, yang menyebabkan putusnya
hubungan hukum keperdataan antara anak angkat dengan orang tua kandungnya, dan
kedudukannya sama seperti anak kandung orang tua angkat. Hukum islam bukan
hanya tidak mengenal, tetapi juga melarang pengangkatan anak dengan akibat
hukum sebagaimana tersebut diatas.
Ketika
Rasulullah saw mengangkat seorang anak laki-laki bernama zaid anak Haritsah
(Zaid bin Haritsah) kemudian para sahabat memanggilnya dengan “Zaid bin
Muhammad”, turunlah Qs. Al-Ahzab [33]:4-5, yang mana ayat tersebut merupakan
konsepsi material di bidang pengangkatan anak dalam kaitan dengan hubungan hukumnya
dengan orang tua kandung. Akan tetapi walaupun sudah sekian abad yakni sejak
ayat itu diturunkan sebagai deklarasi Allah SWT tentang praktik pengangkatan
anak, ternyata konsepsi al-Qur’an itu belum mendapat perhatian penuh dari umat
islam, sehingga umat islam indonesia khususnya masih menundukkan diri kepada
hukum adat dan hukum BW. Hal ini terbukti dari masih banyaknya masyarakat
muslim yang menempuh pengangkatan anak versi BW dan hukum adat tersebut.
Ajaran islam
berdasarkan ayat diatas setidaknya mempunyai empat prinsip sebagai garis hukum
yang perlu dipedomani. Keempat peinsip tersebut adalah sebagai berikut:
a. Pengangkatan anak tidak menimbulkan
hubungan hukum apa-apa antara anak angkat dengan orang tua angkatnya, kecuali
sebatas memelihara, mengasuh, memberi pendidikan, dan lainnya untuk
kemaslahatan dan kebajikan si anak.
b. Hubungan hukum keperdataan si anak
dengan orang tua kandungnya masih tetap dan tidak terputus.
c. Panggilan untuk si anak adalah atas nama
orang tua kandungnya, yakni bin atau binti-nya haruslah menggunakan nama ayah
kandungnya.
d. Jika orang tua kandungnya tidak
diketahui, maka panggilan mereka sebagai saudara-saudara seagama.[3]
Adapun sebab-sebab yang menjadikan
mengangkat anak ini haram hukumnya karena:
a) Mencampurbaurkan peraturan Allah SWT
didalam menyusun masyarakat dan keluarga hingga tidak jelas tanggungjawab
manusia atas stiap hak dan kewajibannya, di dalam agama islam memutuskan tali
kekeluargaan/silaturrahmi haram hukumnya apalagi melenyapkanny, karena hubungan
darah itu adalah dari Allah semata yang telah diatur-nya demikian rupa dan
manusia harus patuh pada ketentuan Allah.
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا
حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ مِنْ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلا
تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ
الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
(١٥١)
151. Katakanlah: "Marilah kubacakan
apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu
mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu
bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami
akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati
perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang
tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar[518]". demikian
itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).
[518] Maksudnya yang
dibenarkan oleh syara' seperti qishash membunuh orang murtad, rajam dan
sebagainya.
b)
Merampas
hak milik orang lain sedangkan Allah telah membagi-bagi rizki setiap manusia.
أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا
وَإِنَاثًا وَيَجْعَلُ مَنْ يَشَاءُ عَقِيمًا إِنَّهُ عَلِيمٌ قَدِيرٌ (٥٠)
50. atau Dia menganugerahkan kedua jenis
laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan
mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha
Kuasa.
c)
Melanggar
peraturan Allah Swt tentang kekeluargaan dimana setiap keluarga itu mempunyai
kehormatan sendiri dan bergaul sesama mereka dengan sistem hidup yang telah
ditentukan oleh allah.
d)
Mengambil
hak anak-anak kandung baik dala kasih sayang maupun dalam pembagian harta
pustaka. Maka Allah berfirman:
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ
فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا لأنْفُسِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ
وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلاقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ (٢٢٣)
223. isteri-isterimu adalah (seperti) tanah
tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu
bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu,
dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya.
dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.
e)
Tidak
membedakan antara yang halal dengan yang haram dimana didapatkan, anak-anak
angkat itu dapat dikawini oleh masing-masing ibu dan bapak angkat dan begitu
pula oleh anak-anak kandung dam keluarga mereka.
f)
perkawinan
adalah dasar-dasar utama untuk mendapatkan anak yang sah.[4]
Mengambil anak angkat
itu sudah terkenal juga dikalangan bangsa-bangsa Yunani dan Romawi pada zaman
purba, dan pada budaya-budaya barat saat ini, islam mengharamkan perbuatan itu
dengan tegas dan selama-lamanya, dan menutup erat-erat di hadapan usaha-usaha
mereka yang terpengaruh dengan kebudayaan barat, antara lain dengan sebab:
·
Mengambil
anak angkat itu adalah suatu kebohongan di hadapan Allah, dan dihadapan
masyarakat manusia, dan hanya merupakan kata-kata yang di ucapakan berulang
kali, tetapi tidak mungkin menimbulkan kasih sayang yang sesungguhnya seperti
yang timbul dikalangan ayah, ibu dan kaum keluarga yang sesungguhnya. Dalam hal
ini, Allah s.w.t. berfirman:
ذَلِكُمْ
قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ
(٤)
Yang demikian
itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya
dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).(QS.Al-Ahzhab
: 4)
·
Sering
terjadi pengambilan anak angkat itu dijadikan sebagai suatu cara untuk menipu
dan menyusahkan kaum keluarga, seperti yang banyak kita saksikan sekarang ini.
Misalnya seorang laki-laki mengambil seorang anak angkat yang akan menjadi
pewaris dari harta kekayaannya, dan dengan demikian berarti orang tadi tidak
memberikan bahagian dari saudara-saudarnya dan ahli waris yang lain-lai, yang
mempunyai hak dalam harta pusaka itu menurut ketentuan Allah.
·
Mengambil
anak angkat dan menetapkan statusnya sama dengan anak kandung, kadang-kadang
menimpakan beban dan tugas-tugas yang berat kepada kaum keluarga.[5]
B. Wali Terhadap Anak Angkat
Sebagaimana
telah disinggung di atas, bahwa dalam islam perbuatan hukum pengangkatan anak
tidak berakibat berubahnya hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua
kandungnya. Begitu pula hubungan hukumnya dengan orang tua angkatnya hanyalah
sebatas peralihan pemeliharaan, pengasuhan, bantu pendidikan, pemenuhan
kebutuhan hidupnya dan lainya dari orang tua kandung si anak kepada orang tua
angkatnya. Hal ini dilakukan hanya semata-mata untuk kemaslahatan dan kebajikan
si anak.
Dengan demikian,
hubungan hukum anak angkat dengan orang tua kandungnya tidak berubah dan tidak
putus karena adanya pengangkatannya sebagai anak angkat oleh orang tua
angkatnya, oleh karena itu, jika anak yang diangkat itu perempuan, maka masalah
perkawinannya tetap mengacu kepada ketentuan perwalian pernikahan secara umum,
yaitu orang tua angkatanya tidak berwenang sama sekali menjadi wali nikahnya.
Jika hal itu terjadi, maka perkawinannya dinyatakan tidak sah, karena orang
yang bertindak sebagai wali nikah itu tidak berwenang. Jadi yang berhak menjadi
wali nikah anak angkat tersebut adalah ayah kandungny, atau orang-orang yang
secara prioritas berhak menjadi wali nikah.
Ada beberapa
perbedaan prioritas wali yang ditemui antara pendapat fikih klasik oleh
imam-imam mazhab dengan rumusan yang diatur oleh kompilasi hukum islam, antara
lain adalah masalah orang-orang yang berhak menjadi wali secara prioritas,
ulama’ fikih membagi kelompok wali nikah menjadi tiga macam. Pertama, wali
nasab, wali mu’thiq, wali hakim.
C. Hak Waris Anak Angkat
Dalam literatur
hukium islam disebutkan bahwa, ada empat hubungan yang menyebabkan seseorang
menerima harta warisan dari seseorang yang telah meninggal dunia, keempat
hubungan itu adalah sebagai berikut:
a. Hubungan kerabat, atau disebut juga
hubungan pertalian darah, seperti anak terhadap bapak dan ibu kandungny, cucu
dengan kakeknya dan sebagainya.
b. Hubungan perkawinan, seperti suami
dengan istri.
c. Hubungan wala’, yaitu kekerabatan
yang timbul akibat memerdekakan budak.
d. Hubungan sesama islam, artinya bila
seseorang meninggal dunia dan tidak mempunyai ahli warisnya diserahkan kepada baitul
mal, dengan demikian hartanya diwarisi oleh umat islam.
Dari keempat sebab ahli mewaris
tersebut, tampaknya anak-angkat tidak termasuk golongan yang mendapat warisan
dari orang tua angkatnya, karena memang pengangkatan anak tidak menyebabkan
timbulnya hubungan hukum saling mewarisi antara anak angkat dengan orang tua
angkat.[6]
Namun demikian, para ulama mencari
solusi agar anak dapat memperoleh bagian dari harta warisan orang tua
angkatnya, yaitu dengan jalan hibah atau wasiat tidak dengan jalan warisan. Dan
orang lain diluar dari keluarga sekali-kali tidak mendapat warisan sekalipun
mereka boleh mendapat wasiat, dan wasiat itu tidak boleh melebihi 1/3 dari
pusaka yang bersih/netto dan ini berarti hak ahli waris tetap berupa bagian
yang terbesar, wasiat kepada anak kandung tidak diperbolehkan karena akan
menimbulkan hasut dengki antara anak satu sama lainnya.[7]
D. Nafkah Terhadap Anak Angkat
IV.
KESIMPULAN
V.
PENUTUP
[1] http//:www.pengangkatan anak (adopsi) oleh wasis priyanto,SH,
MH.com
[2] Dr.Fuad Mohd. Fahruddin,masalah anak dalam hukum islam,Jakarta
pusat 1985,hal:60
[3] Drs. H. M. Anshary MK, S.H., M.H.,hukum perkawinan di indonesia,pustaka
pelajar yogyakarta, hal:115-116
[4] Dr.fuad….hal:61
[5] Zakariya Ahmad Al Barry, Hukum Anak-anak Dalam Islam,Bulan
bintang jakarta,hal:34-35
[6] Hkm perkawinan
[7] Mslh anak dlm hkm islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar