KETERKAITAN KONSUMSI DAN PRODUKSI DALAM PERSPEKTIF
EKONOMI ISLAM
KETERKAITAN KONSUMSI DAN PRODUKSI
DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM
Oleh :
Abdul Hakim, SE., MEI.
(Dosen Fakultas Syariah IAIN Sunan
Ampel Surabaya)
ABSTRAK
Tulisan ini berupaya menganalisis
keterkaitan antara konsumsi dan produksi dalam perspektif Islam. Melalui
pendalaman terhadap berbagai prinsip dan karakter dari konsumsi dan produksi
dalam pandangan Islam, ditemukanlah beberapa aspek yang harus selalu dijaga
harmoninya agar motivasi dan cita-cita manusia dalam kehidupan ekonominya dapat
tercapai yaitu dipenuhinya kebutuhan manusia secara wajar dan berkeadilan
sebagai sarana ibadah kepada Allah.
Aspek-aspek yang harus dijaga
keterkaitannya tersebut adalah tentang motivasi, kuantitas, kualitas, serta
tatacara atau prosedur dalam berkonsumsi dan produksi. Semua itu harus
diterapkan secara selaras dan simultan sesuai dengan nilai-nilai Islam yang
ada.
Praktek konsumsi yang tidak sinkron
dengan produksinya atau sebaliknya praktek produksi tidak sinkron dengan
konsumsinya dalam berbagai aspek tersebut akan dapat menimbulkan berbagai
persoalan negatif bahkan fatal dalam kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat.
Di antaranya: Timbulnya penyakit, kelaparan, kemiskinan, pengangguran, rendanya
kualitas sumberdaya manusia. Juga terjadinya over produksi, sehingga cepat
rusak atau habisnya sumberdaya alam yang tak terbarukan, perilaku konsumen yang
boros, persaingan yang tidak sehat, labilnya harga, timbulnya kriminalitas,
bahkan pertikaian antar individu atau kelompok masyarakat.
PENDAHULUAN
Sesuai kodratnya manusia tidak
mungkin menghindarkan diri dari kegiatan konsumsi dan produksi. Demi eksistensi
dan kenyamanan hidupnya, manusia memerlukan banyak barang dan jasa. Sementara
barang yang tersedia secara langsung untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup
manusia itu sangat terbatas, baik menyangkut jumlah, ragam maupun kualitasnya.
Dari sinilah kemudian manusia terpanggil untuk melakukan kegiatan produksi. Mengelola
berbagai sumber daya yang ada dengan mengubahnya untuk membuat atau
menghasilkan sesuatu, demi memenuhi kebutuhan hidupnya yang terus meningkat dan
bervariasi seiring dengan dinamika peradaban.
Adalah cukup naif jika seseorang
beranggapan bahwa kegiatan produksi itu dapat berdiri sendiri, atau setidaknya
dapat berjauhan dengan kegiatan konsumsi. Atau sebaliknya bahwa kegiatan
konsumsi itu dapat terlaksana dengan tepat tanpa memperhatikan kegiatan
produksinya. Keduanya merupakan dua aspek yang saling terkait, saling
bergantung, serta tidak boleh untuk dipisah-pisahkan. Karenanya sudah
seharusnya kita memahami berbagai aspek yang mengaitkan antara konsumsi dan
produksi tersebut agar dapat tercipta tata hubungan, pemahaman, dan kinerja
yang terbaik dalam kehidupan ekonomi manusia.
Dengan demikian maka persoalan yang
menjadi urgen adalah: Dalam masalah apa saja keterkaitan antara konsumsi dan
produksi itu? Bagaimana Pandangan Islam tentang keterkaitan di antara keduanya?
Serta apa akibatnya jika hubungan di antara konsumsi dan produksi itu tidak
harmonis? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya selalu mengiringi
perjalanan hidup manusia dalam berkonsumsi dan berproduksi. Hal ini tentu
sesuai dengan tanggung jawab pribadi dan sosial yang diembannya.
Pemahaman terhadap persoalan ini
diharapkan dapat mengantarkan manusia pada nilai hidup yang lebih bermartabat,
proporsional, berkeadilan, juga terhindarkan dari ancaman murka Allah SWT.
Banyak aspek yang terkait antara produksi dan konsumsi yang perlu diperhatikan
agar tujuan keduanya dapat maksimal dan tetap dalam koridor ridha Allah. Islam
sendiri telah memiliki pedoman bagaimana manusia itu harus berkonsumsi dan
berproduksi. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat berakibat negatif bahkan
fatal bagi kehidupan manusia. Semoga tulisan sederhana ini mampu memberi
tambahan pencerahan pada pemerhati ekonomi Islam.
Pengertian dan obyek konsumsi:
Dalam percakapan sehari hari,
istilah konsumsi selalu dihubungkan dengan kegiatan makan dan minum. Sebenarnya
konsumsi bukanlah sekedar makan atau minum, tetapi merupakan setiap penggunaan
atau pemakaian barang-barang dan jasa-jasa yang secara langsung dapat memuaskan
kebutuhan seseorang. Dengan demikian konsumsi berarti kegiatan memuaskan
kebutuhan[1].
Sedang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata konsumsi itu diartikan
dengan: Pemakaian barang hasil produksi. Barang-barang yang langsung memenuhi
keperluan hidup manusia[2].
Dengan demikian, berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat ditegaskan
bahwa yang menjadi obyek dari konsumsi adalah segala macam barang dan jasa yang
dapat digunakan untuk memenuhi atau memuaskan kebutuhan manusia.
Aktifitas konsumi sepertinya tidak
memerlukan konsep-konsep yang rumit, sebab siapapun baik bayi yang baru lahir,
maupun kakek yang sudah tua renta bisa melakukannya. Sebenarnya tidak semudah
itu kita harus memandang permasalahan ini. Prinsip dan pola konsumsi ternyata
juga memiliki peranan penting dalam membina kesejahteraan dan keteraturan dalam
sebuah sistem kemasyarakatan. Praktek konsumsi juga sangat berkaitan dengan
aspek-aspek yang lain, di antaranya adalah produksi dan juga distribusi. Bahkan
keduanya tidak bisa dipisahkan peranannya dalam perekonomian. Lebih tegasnya
lagi dapat kita katakan, bahwa disharmonisnya konsumsi dan produksi dapat
mengakibatkan hancurnya sistem ekonomi dan kemasyarakatan. Karena itu harus
diupayakan bagaimana konsumsi dan produksi itu dapat beriringan secara sinergis
dalam mengantarkan manusia menuju kesejahteraan hidup di dunia kini dan di
akhirat nanti.
Teori perilaku konsumsi konvensional
Teori-teori konvensional tentang perilaku
konsumen dalam mengkonsumsi sesuatu pada umumnya memiliki beberapa asumsi,
yaitu :
- Barang atau jasa itu memiliki kegunaan (Utilitas)
tertentu.
- Setiap konsumen dalam mengkonsumsi suatu barang adalah
ingin mencapai kepuasan total yang maksimal.
- Jika suatu barang dikonsumsi secara terus menerus, maka
tambahan kegunaan (utilitasnya) akan semakin menurun. Hal ini mengacu
dengan hukum pertambahan utilitas yang semakin menurun (The Law of
Diminishing Marginal Utility).
- Jika konsumen mengkonsumsi lebih dari satu macam
barang, maka ia akan menentukan kombinasi yang dapat memberikan tingkat
kegunaan atau kepuasan yang maksimal.
- Konsumen akan berhenti mengkonsumsi suatu barang jika
guna marginalnya sudah menyamai atau lebih rendah dari harga barang yang
bersangkutan.
- Konsumen akan berupaya memaksimalkan kepuasannya sesuai
dengan anggaran belanja yang dimilikinya[3].
- Konsumen dalam kondisi ekuilibrium atau seimbang jika
dia telah menggunakan pendapatannya dengan cara sedemikian rupa sehingga
kegunaan dari mata uang (harga) terakhir yang dibelanjakannya pada
berbagai komoditi adalah sama.[4]
Asumsi-asumsi di atas memberi
pemahaman pada kita bahwa nilai dan orientasi dari kegiatan konsumsi dalam
pandangan konvensional itu adalah lebih didasarkan terhadap nilai material,
nafsu kepuasan, serta harga atau anggaran yang tersedia. Kepuasan konsumen
semata-mata berkaitan dengan nilai guna (utilitas) yang ditimbulkan oleh suatu
barang yang ditentukan secara subyektif dan dikaitkan dengan harganya. Dengan
demikian aspek-aspek moralitas dan tanggung jawab sosial belum diperhatikan
sama sekali dalam konsep dan rumusan-rumusan teori konsumsi konvensional.
Prinsip-prinsip konsumsi dalam
Islam:
Dalam ekonomi Islam, konsumsi diakui
sebagai salah satu perilaku ekonomi dan kebutuhan asasi dalam kehidupan
manusia. Perilaku konsumsi diartikan sebagai setiap perilaku seorang konsumen
untuk menggunakan dan memanfaatkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Namun Islam memberikan penekanan bahwa fungsi perilaku konsumsi
adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia baik jasmani dan ruhani sehingga mampu memaksimalkan
fungsi kemanusiaannya sebagai hamba dan khalifah Allah untuk mendapatkan
kebahagiaan dunia dan akherat.[5]
Dengan demikian dalam Islam konsumsi
itu tidak dapat dipisahkan dari peran keimanan. Peranan keimanan menjadi tolok
ukur penting karena keimanan memberikan cara pandang dunia yang cenderung
mempengaruhi kepribadian manusia, yaitu dalam bentuk perilaku, gaya hidup,
selera, sikap-sikap terhadap sesama manusia, sumber daya dan ekologi. Keimanan
sangat mempengaruhi sifat, kuantitas, dan kualitas konsumsi baik dalam bentuk
kepuasan material maupun spiritual. Inilah yang disebut sebagai bentuk upaya
meningkatkan keseimbangan antara orientasi duniawi dan ukhrawi. Keimanan
memberikan saringan moral dalam membelanjakan harta dan sekaligus memotivasi
pemanfaatan sumberdaya (pendapatan) untuk hal-hal yang efektif. Saringan moral
bertujuan untuk menjaga kepentingan diri agar tetap berada dalam batas-batas
kepentingan sosial. Dalam konteks inilah kita berbicara tentang bentuk-bentuk
konsumsi halal dan haram, pelarangan terhadap israf, bermegah-megahan,
bermewah-mewahan, pentingnya konsumsi sosial, serta aspek-aspek normatif
lainnya.[6]
Sejalan dengan itu, Yusuf Qardhawi
menyebutkan beberapa variabel moral dalam berkonsumsi, di antaranya; konsumsi
atas alasan dan pada barang-barang yang baik (halal), berhemat, tidak
bermewah-mewah, menjauhi hutang, menjauhi kebakhilan dan kekikiran. Dengan
demikian aktifitas konsumsi merupakan salah satu aktifitas ekonomi manusia yang
bertujuan untuk meningkatkan ibadah dan keimanan kepada Allah SWT dalam rangka
mendapatkan kemenangan, kedamaian dan kesejahteraan akherat (falah),
baik dengan membelanjakan uang atau pendapatannya untuk keperluan dirinya
maupun untuk amal shaleh bagi sesamanya.[7]
Selanjutnya secara lebih terperinci,
menurut Abdul Mannan perintah Islam mengenai konsumsi setidaknya dikendalikan
oleh lima prinsip yaitu:
- Prinsip keadilan. Mengandung arti bahwa rezeki yang
dikonsumsi haruslah yang halal dan tidak dilarang hukum. Tidak membahaykan
tubuh, moral dan spiritual manusia, serta tidak mengganggu hak milik dan
rasa keadilan terhadap sesama.
- Prinsip Kebersihan. Obyek konsumsi haruslah sesuatu
yang bersih dan bermanfaat. Yaitu sesuatu yang baik, tidak kotor, tidak
najis, tidak menjijikkan, tidak merusak selera, serta memang cocok untuk
dikonsumsi manusia.
- Prinsip Kesederhanaan. Konsumsi haruslah dilakukan
secara wajar, proporsional, dan tidak berlebih-lebihan. Prinsip-prinsip
tersebut tentu berbeda dengan ideologi kapitalisme dalam berkonsumsi yang
menganggap konsumsi sebagai suatu mekanisme untuk menggenjot produksi dan
pertumbuhan. Semakin banyak permintaan maka semakin banyak barang yang
diproduksi. Disinilah kemudian timbul pemerasan, penindasan terhadap buruh
agar terus bekerja tanpa mengenal batas waktu guna memenuhi permintaan.
Dalam Islam justru berjalan sebaliknya: menganjurkan suatu cara konsumsi
yang moderat, adil dan proporsional. Intinya, dalam Islam konsumsi harus
diarahkan secara benar dan proporsional, agar keadilan dan kesetaran untuk
semua bisa tercipta.
- Prinsip kemurahan hati. Makanan, minuman, dan segala
sesuatu halal yang telah disediakan Tuhan merupakan bukti kemurahanNya.
Semuanya dapat kita konsumsi dalam rangka kelangsungan hidup dan kesehatan
yang lebih baik demi menunaikan perintah Tuhan. Karenanya sifat konsumsi
manusia juga harus dilandasi dengan kemurahan hati. Maksudnya, jika memang
masih banyak orang yang kekurangan makanan dan minuman maka hendaklah kita
sisihkan makanan yang ada pada kita kemudian kita berikan kepada mereka
yang sangat membutuhkannya.
- Prinsip moralitas. Kegiatan konsumsi itu haruslah
dapat meningkatkan atau memajukan nilai-nilai moral dan spiritual.
Seorang muslim diajarkan untuk menyebutkan nama Allah sebelum makan, dan
menyatakan terimakasih setelah makan adalah agar dapat merasakan
kehadiran ilahi pada setiap saat memenuhi kebutuhan fisiknya. Hal ini
penting artinya karena Islam menghendaki perpaduan nilai-nilai hidup
material dan spiritual yang berbahagia[8]
Di samping itu, Islam juga
memberikan prinsip-prinsip dasar bagi umatnya dalam hal memenuhi kebutuhan
dirinya. Islam tidak mengakui kegemaran materialistis semata-mata dari pola
konsumsi yang hanya mendasarkan kepada aspek keinginan diri terkait dengan
hasrat atau harapan seseorang yang jika dipenuhi belum tentu akan meningkatkan
kesempurnaan fungsi manusia ataupun suatu barang. Keinginan terkait dengan suka
atau tidak suka seorang terhadap suatu barang, dan ini berarti bersifat
subjektif. Misalnya, seorang yang berkeinginan membangun rumah dengan warna
yang nyaman, ukuran yang sedang, interior yang rapi dan indah, ruangan yang
longgar dan sebagainya. Kesemua keinginan tersebut belum tentu menambah fungsi suatu
rumah, namun hanya memberikan kepuasan bagi pemilik rumah. Sedang kebutuhan
adalah terkait dengan segala sesuatu yang harus dipenuhi agar suatu barang
berfungsi secara sempurna. Dengan demikian kebutuhan seorang terhadap suatu
barang lebih pada nilai manfaat, fungsional, objektif dan harus dipenuhi.
Misalnya kebutuhan akan genteng, pintu, dan jendela merupakan kebutuhan tempat
tinggal. Kebutuhan akan baju sebagai penutup aurat, sandal atau sepatu agar
tidak kepanasan dan sebagainya.[9]
Selanjutnya tingkat kebutuhan
manusia itu dalam pandangan Islam juga diklasifikasikanan menjadi kebutuhan
dharuriyat, hajjiyat, dan tahshiniyat. Dharuriyat yaitu sesuatu yang penting
dan harus dipenuhi agar kelangsungan hidup manusia tidak terancam seperti
makan, minum, berobat, pendidikan. Hajjiyat adalah sesuatu yang sifatnya perlu
dipenuhi agar kehidupan manusia tidak mengalami kesulitan atau kesempitan
seperti perabot rumah tangga, kendaraan, alat komunikasi, dll. Sedangkan
tahsiniyat adalah sesuatu yang bersifat pelengkap dan dapat mendatangkan
keindahan jika dapat dipenuhi oleh manusia, seperti memakai minyak wangi,
aksesoris rumah atau kendaraan, mainan anak-anak, dll.
Karena itulah dalam memenuhi
kebutuhannya seorang muslim harus memperhatikan skala prioritas dan nilai
manfaat yang benar-benar dapat diperoleh baik secara langsung maupun oleh pihak
lain serta memperhatikan nilai keadilan terhadap sesama. Secara umum pemenuhan terhadap
kebutuhan akan memberikan dampak atau manfaat fisik, spiritual, intelektual
ataupun material, sedang pemenuhan terhadap keinginan akan menambah kepuasan
atau manfaat psikis di samping manfaat lainnya. Jika suatu kebutuhan diinginkan
oleh seorang, maka pemenuhan kebutuhan tersebut akan melahirkan maslahah
sekaligus kepuasan, namun jika pemenuhan kebutuhan tidak dilandasi keinginan,
maka hanya akan memberikan manfaat saja.
Secara khusus jika kegiatan konsumsi
itu dimaknai sebagai usaha untuk membelanjakan harta yang dimilikinya, maka
yang menjadi sasaran utama adalah pembelanjaan konsumsi untuk diri sendiri,
keluarga dan sabilillah. Seorang muslim tidak diperbolehkan mengharamkan harta
yang halal dan harta yang baik untuk diri dan keluarganya, padahal ia mampu
mendapatkannya baik karena alasan zuhud, hidup kekurangan ataupun karena pelit
dan bakhil. Ini berarti suatu penegasan bahwa Allah secara global telah
melegalkan manusia untuk menikmati kenikmatan yang halal, baik tentang makanan,
minuman, maupun perhiasan dengan cara dan dalam batas-batas tertentu. (Q.S.
al-A’raf 31-32). Selanjutnya terhadap apa yang telah lebih dari kebutuhan kita,
Allah menganjurkan agar kita membelanjakannya untuk sabilillah, untuk
kepentingan umum dalam rangka mencari ridha Allah (Q.S Al-Baqarah: 219)[10]
Proses dan fungsi produksi
Produksi adalah proses mengeluarkan
hasil, penghasilan[11].
Dalam istilah ilmu ekonomi sering dimaknai sebagai kegiatan yang bertujuan
untuk menghasilkan atau menambah guna dari suatu barang atau jasa.[12]
Produksi adalah sebuah proses yang lahir di muka bumu ini semenjak manusia awal
menghuninya.
Dalam operasionalnya produksi
memerlukan berbagai faktor atau sarana yang harus dilibatkan. Faktor-faktor
produksi yang merupakan input dalam suatu proses produksi pada umumnya
dikategorikan sebagai faktor produksi alam, tenaga kerja, modal, dan
kewirausahaan atau organisasi. Faktor produksi alam merupakan segala sesuatu
yang telah tersedia pada alam yang dapat dimanfaatkan dalam proses produksi
seperti: tanah, air, udara, iklim, sungai, laut, gunung, hutan, dll. Tenaga
kerja merupakan semua bentuk kegiatan manusia baik yang bersifat kemahiran
fisik maupun mental yang diperlukan dalam proses produksi. Modal adalah segala
sesuatu yang dihasilkan oleh manusia dengan maksud untuk menghasilkan barang
atau jasa lain yang diperlukan manusia lebih lanjut, seperti jalan-jalan,
mesin-mesin, peralatan, dll. Sedang kewirausahaan adalah kemampuan seseorang
dalam mengelola faktor-faktor produksi yang ada, atau menjalankan suatu
perusahaan sehingga proses produksi dapat berjalan dengan efisien dan
menguntungkan.[13]
Suatu keterkaitan yang menunjukkan
hubungan antara jumlah input dan output dalam suatu proses produksi dalam
periode tertenu disebut dengan Fungsi produksi dan umumnya dirumuskan dengan :
Q = f (X1, X2, X3,…Xn) Di mana Q adalah output atau hasil produksi dan X
menunjukkan jumlah, jenis, atau kombinasi input yang digunakan. Dengan rumusan
tersebut menunjukkan bahwa jumlah Q dalam suatu proses produksi akan sangat
dipengaruhi oleh kombinasi dan kuantitas dari X (input) yang dilibatkan.[14]
Teori perilaku dan tujuan produsen
Dalam pandangan konvensional
beberapa teori atau asumsi dasar tentang perilaku produsen adalah:
- Prosusen bertindak secara rasional, artinya produsen akan
selalu mempertimbangkan antara hasil (output) dan pengorbanannya (input).
- Kegiatan produksi akan tunduk pada hukum yang disebut:
“The Law of Diminishing Return” Yaitu bila satu macam input ditambah terus
penggunaannya, sedang input yang lain tetap, maka tambahan output yang
dihasilkan dari setiap tambahan satu unit input mula-mula akan naik tetapi
kemudian terus menurun bila input tersebut terus ditambah.
- Produsen dalam menggunakan faktor produksinya akan
memilih kombinasi faktor produksi yang paling menguntungkan (paling
efisien). Kombinasi input yang dapat dipilih oleh produsen secara
matematis digambarkan ke dalam suatu kurva yang disebut isoquant
yaitu kurva yang menghubungkan titik-titik kombinasi input untuk
menghasilkan tingkat output yang sama.[15]
- Laba atau rugi yang diperoleh perusahaan dalam kegiatan
produksi tergantung dari besarnya penerimaan total (TR) dan biaya total
(TC). Jika TR > TC perusahaan memperolel laba dan jika TR<TC berarti
mengalami rugi. Penerimaan total dihitung dengan mengalikan harga output
per unit dikali dengan harga jualnya atau TR=PxQ. Sedang Biaya total (TC)
merupakan penjumlahan dari semua biaya tetap dan biaya variabel (TC=TFC+TVC)
atau semua biaya untuk membeli input dalam suatu proses produksi.[16]
- Berkaitan denga biaya produksi, produsen juga akan
berpedoman pada kurva isocost, yaitu kurva yang menunjukkan berbagai
kombinasi dari penggunaan dua faktor produksi atau lebih dengan tingkat
pengeluaran biaya yang sama.[17]
- Dalam mencapai keuntungan yang maksimal, produsen akan
menyesuaikan tingkat output dan harganya sesuai dengan struktur pasar yang
dihadapinya, apakah pasar persaingan sempurna atau pasar persaingan tidak
sempurna.[18]
Tujuan utama produksi adalah untuk
menghasilkan barang atau jasa yang dapat memenuhi kebutuhan ataupun keinginan
manusia dengan sumberdaya yang efisien agar mendapatkan keuntungan maksimum.
Karena itulah persoalan produksi konvensional sering terjebak pada orientasi
tentang apa dan berapa output yang harus dihasilkan, serta bagaimana
kombinasi dari berbagai faktor produksi yang harus digunakan dalam kegiatan
produksi tersebut agar dapat mendatangkan keuntungan yang maksimum[19].
Dua hal itulah yang selalu dianggap sebagai intisarai persoalan bagi produsen.
Dengan demikian produsen dikatakan
berhasil dalam produksinya, apabila usahanya itu dapat rentabel atau
menghasilkan keuntungan. Persoalan produksi masih belum menyangkut aspek
moralitas dan tanggung jawab sosial.
Dalam pandangan Islam persoalan
produksi tentu tidak sesederhana itu. Produksi harus memperhatikan berbagai
aspek beserta akibatnya, khususnya yang terkait dengan tanggung jawab pribadi
dan sosial manusia baik sebagai hamba atau khalifah Allah.
Prinsip-prinsip produksi dalam Islam
Kegiatan produksi sangat prinsip
bagi kelangsungan hidup dan peradaban manusia dan bumi. Produksi lahir dan
tumbuh dari menyatunya manusia dengan alam. Allah telah menetapkan bahwa
manusia berperan sebagai khalifah. Bumi adalah lapangan atau medan sedang
manusia adalah pengelola segala apa yang terhampar di muka bumi untuk
dimaksimalkan fungsi dan kegunaannya. Tanggung jawab manusia adalah mengelola resources
yang telah disediakan oleh Allah tersebut secara efisien dan optimal agar
kesejahteraan dan keadilan dapat ditegakkan. Satu hal yang harus selalu
dihindari oleh manusia adalah berbuat kerusakan di muka bumi. Dengan demikian
segala hal yang diajukan untuk mencari keuntungan tanpa berakibat pada
peningkatan utility atau nilai guna resources tidak disukai dalam
Islam.
Prinsip fundamental yang harus
selalu diperhatikan dalam proses produksi dalam Islam adalah prinsip
kesejahteraan ekonomi. Konsep kesejahteraan ekonomi Islam terdiri dari
bertambahnya pendapatan yang diakibatkan oleh meningkatnya produksi dari
barang-barang yang berfaedah melalui pemanfaatan sumberdaya secara maksimum.
Dengan demikian perbaikan sistem produksi dalam Islam tidak hanya berarti
meningkatkan pendapatan, yang dapat diukur dari segi uang, tetapi juga
perbaikan dalam memaksimalkan terpenuhinya kebutuhan manusia dengan usaha
minimal tetapi tetap memperhatikan tuntutan perintah-perintah Islam tentang
konsumsi. [20].
Selanjutnya beberapa implikasi
mendasar yang harus diperhatikan bagi kegiatan produksi dan perekonomian dalam
pandangan Islam adalah :
- Seluruh kegiatan produksi terikat pada tataran nilai
moral dan teknikal yang Islami [21]
Sejak dari kegiatan mengorganisisr
faktor produksi, proses produksi hingga pemasaran dan dan pelayanan kepada
konsumen, semuanya harus mengikuti moralitas Islam. Metwally (1992) mengatakan
”perbedaan dari perusahaan-perusahaan non Islami tak hanya pada tujuannya,
tetapi juga pada kebijakan-kebijakan ekonomi dan strategi pasarnya”. Produksi
barag dan jasa yang dapat merusak moralitas dan menjauhkan manusia dari
nilai-nilai relijius tidak akan diperbolehkan. Terdapat lima jenis kebutuhan
yang dipandng bermanfaat untuk mencapai falah, yaitu : 1. kehidupan, 2.
harta, 3. kebenaran, 4. ilmu pengetahuan dan 5. kelangsungan keturunan. Selain
itu Islam juga mengajarkan adanya skala prioritas (dharuriyah, hajjiyah dan
tahsiniyah) dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi serta melarang sikap
berlebihan, larangan ini juga berlaku bagi segala mata rantai dalam
produksinya.
- Kegiatan produksi harus memperhatikan aspek
sosial-kemasyarakatan
Kegiatan produksi harus menjaga
nilai-nilai keseimbangan dan harmoni dengan lingkungan sosial dan lingkungan
hidup dalam masyarakat dalam skala yang lebih luas. Selain itu, masyarakat juga
berhak menikmati hasil produksi secara memadai dan berkualitas. Jadi produksi
bukan hanya menyangkut kepentingan para produsen (stock holders) saja
tapi juga masyarakat secara keseluruhan (stake holders). Pemerataan
manfaat dan keuntungan produksi bagi keseluruhan masyarakat dan dilakukan
dengan cara yang paling baik merupakan tujuan utama kegiatan ekonomi.
- Permasalahan ekonomi muncul bukan saja karena
kelangkaan tetapi lebih kompleks. [22]
Masalah ekonomi muncul bukan karena
adanya kelangkaan sumber daya ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan manusia saja,
tetapi juga disebabkan oleh kemalasan dan pengabaian optimalisasi segala
anugerah Allah, baik dalam bentuk sumber daya alam maupunmanusia. Sikap
terserbut dalam Al-Qur’an sering disebut sebagai kezaliman atau pengingkaran
terhadap nikmat Allah6.
Hal ini akan membawa implikasi bahwa prinsip produksi bukan sekedar efisiensi,
tetapi secara luas adalah bagaimana mengoptimalisasikan pemanfaatan sumber daya
ekonomi dalam kerangka pengabdian manusia kepada Tuhannya.
Kegiatan produksi dalam perspektif
Islam bersifat alturistik sehingga produsen tidak hanya mengejar keuntungan
maksimum saja. Produsen harus mengejar tujuan yang lebih luas sebagaimana
tujuan ajaran Islam yaitu falah didunia dan akhirat. Kegiatan produksi
juga harus berpedoman kepada nilai-nilai keadilan dan kebajikan bagi
masyarakat.
Sistem produksi dalam Islam harus
dikendalikan oleh kriteria obyektif maupun subyektif. Kriteria obyektif akan
tercermin dalam bentuk kesejahteran yang dapat diukur dari segi uang, sedangkan
kriteria subyektifnya dalam bentuk kesejahteraan yang dapat diukur dari segi
etika ekonomi yang didasarkan atas perintah-perintah kitab suci Al-Qur’an dan
Sunnah nabi. Dalam memandang faktor-faktor produksi Islam juga memiliki
pedoman-pedoman tersendiri. Tanah sebagai faktor produksi harus digunakan
sedemikian rupa sehingga tujuan pertumbuhan yang berimbang dapat tercapai.
Pemanfaatan tanah harus dapat memaksimalkan kesejahteraan ekonomi masyarakat.
Islam menaruh perhatian dalam pembudidayaan tanah-tanah kosong. Tenaga kerja
atau buruh sebagai faktor produksi dalam Islam tidak pernah terpisahkan dari
kehidupan moral dan sosial. Buruh tidak hanya dipandang sebagai jumlah usaha
atau jasa abstrak yang ditawarkan untuk dijual pada para pencari kerja, tetapi
mereka yang mempekerjakan buruh harus mempunyai tanggung jawab moral dan
sosial. Buruh tidak boleh melakukan pekerjaan yang dilarang oleh syariat. Baik
pekerja maupun majikan tidak boleh saling memeras. Semua tanggung jawab buruh
tidak berakhir pada waktu mereka meninggalkan tempat kerjanya. Mereka tetap
mempunyai tanggung jawab untuk melindungi kepentingan yang sah, baik
kepentingan para majikan maupun para pekerja yang kurang beruntung. Sementara
modal memiliki tempat yang khusus dalam pandangan ekonomi Islam. Semua benda
yang menghasilkan pendapatan selain tanah harus dianggap sebagai modal. Negara
Islam punya hak untuk turun tangan bila modal swasta digunakan untuk mewrugikan
masyarakat. Islam memperbolehkan adanya laba yang berlaku sebagai insentif
untuk menabung, tetapi Islam melindungi kepentingan si miskin dengan memberikan
tanggung jawab moral kepada si kaya agar memperhatikan si miskin. Faktor
produksi organisasi diterapkan dengan ciri atau tatacara tersendiri.
Pengelolaan kekayaan lebih berdasar pada modal sendiri daripada berdasarkan
pinjaman. Organisasi dikendalikan dengan prinsip integritas moral, ketepatan
dan kejujuran dalam akuntansi. Faktor manusia dalam produksi dan strategi usaha
mempunyai signifikansi yang lebih diakui dibandingkan dengan strategi manajemen
yang hanya didasarka pada pemaksimalan keuntungan atau penjualan.[23]
Islam dalam masalah produksi juga
sangat mengedepankan moralitas dan menyentuh nilai dasar kebutuhan manusia (riel
needs). Tidak harus selalu merespon kebutuhan konsumen, karena islam akan
memfilter keinginan orang dalam mengkonsumsi sebuah produk. Produksi dalam
islam tidak mengatakan bahwa konsumen adalah raja, atau apapun yang diminta
konsumen asal konsumen puas akan dilayani oleh perusahaan. Islam dalam hal ini
sangat menghargai keinginan konsumen dan berusaha untuk menyenangkannya tetapi
islam akan menyaring hal-hal yang tidak sesuai dengan islam untuk tidak
diproduksi.
Batasan yang diberikan Islam dalam
membuat sebuah produk sangat jelas, yang benar tidak bisa dicampurkan dengan
yang salah atas alasan apapun. Islam juga sangat menekankan kualitas pelayanan
tetapi kepuasan konsumen dibatasi dalam bingkai syari’ah islam. Produksi dalam
islam tidak boleh sekedar merespon permintaan pasar begitu saja. Tetapi juga
mengedepankan pemenuhan moralitas. Contohnya walaupun produksi khamr (minuman
keras) ataupun judi memiliki permintaan pasar yang besar dan memberikan potensi
keuntungan yang besar bagi produsen, tetapi dalam islam hal tersebut tidak
boleh dilakukan, sebab kedua barang konsumsi tersebut membahayakan, merusak
akhlak generasi muda, membuat orang tidak produktif dan tidak sesuai dengan
nilai-nilai syari’ah.
Sehingga tujuan produsen dalam Islam
tidak cukup hanya mencari keuntungan maksimum belaka, tetapi juga menghasilkan
barang dan jasa yang kemudian dimanfaatkan oleh konsumen untuk mencapai
kesejahteraan dunia dan akhirat. Islam memberikan ruang fleksibilitas yang
sangat lebar dengan konsepnya yang sederhana namun mengena dan menyeluruh.
Segala sesuatu dalam ibadah dilarang kecuali yang diperintahkan, dan segala
sesuatu dalam mu’amalah dibolehkan kecuali yang dilarang.[24]
Dengan demikian prinsip pokok
produsen yang Islami antara lain yaitu :
- Kegiatan produksi harus dilandasi nila-nilai Islami,
sesuai dengan maqashid syariah. Tidak memproduksi barang yang bertentangan
dengan maqashid syariah yaitu menjaga iman, keturunan, jiwa, akal dan
harta.
- Prioritas produksi harus sesuai dengan prioritas
kebutuhan yaitu: Dharuriyah, Hajjiyah dan Tahsiniyah.
- Kegiatan produksi harus memperhatikan keadilan, aspek
sosial kemasyarakatan, memenuhi kewajiban zakat, sedekah, infak dn wakaf.
- Mengelola sumberdaya alam secara optimal, tidak boros,
berlebihan dan merusak lingkungan.
- Distribusi keuntungan yang adil antara pemilik,
pengelola, manajemen dan buruh.[25]
Aspek-aspek keterkaitan konsumsi dan
produksi dalam perspektif Islam
Dari berbagai prinsip dan prosedur tentang konsumsi dan produksi dalam pandangan
Islam sebagaimana di atas, apabila dikaji lebih jauh telah menunjukkan adanya
keterikatan yang kuat antara konsumsi dan produksi dalam beberapa aspek, yaitu:
a. Aspek motivasi dan tujuan
Motivasi dan tujuan dalam konsumsi
dan produksi memiliki kaitan yang sangat erat. Sebenarnya yang mendorong
manusia berproduksi adalah karena adanya tuntutan berkonsumsi. Karena itulah
apa yang akan diproduksi harus benar-benar mencerminkan apa yang akan
dibutuhkan atau dikonsumsi oleh manusia. Kegiatan produksi yang tidak
memperhatikan motivasi dan tujuan dari konsumsinya akan dapat berdampak
negatif. Seiring dengan fenomena kelangkaan sumberdaya, maka perhatian terhadap
apa yang benar-benar diperlukan oleh manusia akan mengarahkan proses produksi
itu sendiri berjalan secara efektif dan efisien. Secara umum motivasi dan
tujuan konsumsi dan produksi dalam Islam adalah terpenuhinya kebutuhan secara
wajar dan berkeadilan sebagai sarana ibadah kepada Allah.
Dalam pandangan Islam dengan mengacu
pada pemikiran al-Syatibi,[26]
bahwa kebutuhan dasar manusia haruslah mencakup lima hal, yaitu terjaganya
kehidupan beragama (ad-din), terpeliharanya jiwa (an-nafs),
terjaminnya berkreasi dan berfikir (al-‘aql), terpenuhinya kebutuhan
materi (al-mal), dan keberlangsungan meneruskan keturunan (an-nasl).
Maka orientasi yang harus dibangun dalam melakukan kegiatan konsumsi dan
produksi adalah mengarahkannya untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang lima
tersebut. Titik temu terpenuhinya kebutuhan dasar manusia inilah yang merupakan
orientasi penting dalam melakukian konsumsi dan produksi.
Jika terjadi kontradiksi antara
motivasi dan tujuan dari konsumsi dan produksi akan dapat menimbulkan
kesulitan-kesulitan ataupun penyimpangan-penyimpangan bagi manusia dalam
masalah ekonomi. Bisa jadi barang yang sangat diperlukan justru tidak tersedia,
sementara barang-barang yang kurang atau tidak diperlukan oleh konsumen malah
tersedia dalam jumlah yang berlebihan. Atau barang-barang yang dibutuhkan telah
tersedia tetapi dengan kualitas atau sifat yang tidak sesuai dengan keinginan
konsumen. Produsen bisa juga terjebak dalam upaya-upaya persuasif atau iklan
yang menyimpang asalkan konsumen mau membeli produknya. Konsumen bisa juga
terjebak dalam pola konsumsi yang sekedar ikut-ikutan (mengikuti trend),
konsumsi dengan tujuan untuk bersaing, ataupun dengan sekedar bergaya atau
untuk berpenampilan. Dengan demikian mereka dalam melakukan kegiatan ekonominya
semata-mata hanya memperturutkan hawa nafsunya, sehingga dapat dikategorikan
sebagai orang berbuat dhalim atau aniaya. Dalam hal ini edukasi konsumen
melalui marketing harus diarahkan untuk mendidik konsumen akan manfaat dari
produk yang dibuat, bukan sebagai alat ampuh untuk membodohi konsumen, dan
memberi imajinasi tertinggi yang mendorong otak bawah sadar manusia untuk
membeli. Melainkan sebagai alat ampuh untuk menyentuh hati manusia pada
kebutuhan dasar yang harusnya diprioritaskan untuk dibeli.
b. Aspek kuantitas atau proporsi
Kunatitas atau proporsi
menjadi hal yang sangat penting dalam kegiatan konsumsi maupun produksi.
Kegiatan produksi harus memperhatikan kebutuhan konsumsi. Sementara kegiatan
konsumsi itu sendiri harus dalam ukuran-ukuran yang proporsional, dengan
menghindari pemborosan, kemewahan, dll. Dengan demikian kegiatan produksipun
otomatis harus dilakukan dalam jumlah, ukuran maupun proporsi yang sesuai
dengan nilai konsumsi yang diperlukan.
Mengupayakan keseimbangan antara ukuran kebutuhan konsumsi dan kuantitas
produksinya akan dapat menghasikan kuantitas output yang paling ideal, baik
dalam aspek ekonomi maupun kesejahteraan sosialnya. Sebaliknya jika aspek
ukuran atau kuantitas dalam konsumsi dan produksi ini diabaikan akan dapat
mengakibatkan terjadinya kelangkaan sehingga menimbulkan kelaparan, kesulitan
hidup, penyakit dll. Hal ini jika volume produksi belum dapat memenuhi
kebutuhan konsumennya. Atau sebaliknya dapat juga menyebabkan jumlah produksi
yang melimpah (over produksi) yaitu apabila outputnya melebihi kebutuhan
konsumen. Hal ini akan mendorong terjadinya pengangguran ataupun kemandekan
proses dalam produksi selanjutnya. Over produksi dapat juga mempercepat
kerusakan atau habisnya sumberdaya alam yang tak terbarukan karena terjadinya
eksploitasi secara berlebihan. Di samping itu juga menyebabkan labilnya harga
dan mendorong perilakau konsumen yang lebih boros dan tidak proporsional
terhadap kebutuhan dan tanggung jawabnya sebagai hamba dan khalifah Allah.
Perhatian terhadap aspek kuantitas atau proporsi juga sangat relevan dengan
konsep keseimbangan dalam pandangan ekonomi konvensional yang terkenal dengan
istilah keseimbangan dalam pasar barang (sektor riil). Pasar barang dikatakan
seimbang adalah apabila penawaran pada pasar barang sama dengan permintaan
pasar barang tersebut. Dengan demikian terjadinya keseimbangan pada pasar
barang merupakan suatu kondisi ideal tentang permintaan dan penawaran barang. [27]
Dalam kondisi keseimbangan tersebut harga-harga akan lebih stabil dan
selanjutnya pertumbuhan ekonomi juga dapat diraih.
Jika konsumsi dan produksi itu dimaknai sebagai pembelanjaan terhadap harta,
maka Islam menggariskan bahwa dalam membelanjakann harta itu tidak boleh
melampaui batas, harus memperhatikan nilai keseimbangan. Misalnya menafkahkan
harta untuk orang banyak harus tetap memperhatikan proporsinya terhadap nafkah
pribadi dan keluarganya. Peraturan ini ditetapkan agar manusia dapat hidup
serba cukup, tidak menjadi beban serta harus mengemis pada orang lain.
c. Aspek prosedural
Proses konsumsi harus dilakukan dalam waktu dan dengan tata cara tertentu yang
halal, bijaksana, ekonomis, serta relevan dengan misi atau tujuan pokoknya.
Demikian pula dalam proses produksi, semua input harus dimanaj secara Islami.
Motivasi dan kuantitas konsumsi dan produksi yang tepat, akan kurang berarti
apabila proses konsumsi dan produksinya masih tidak tepat dan tidak kompak.
Ibaratnya, kita diperbolehkan makan daging sapi, adalah jika sapi
tersebut telah disembelih dan diproses secara Islami, kemudian kita konsumsi
dengan etika makan yang baik. Sapi menjadi haram dikonsumsi apabila matinya karena
ditabrak mobil, atau dimasak dengan bumbu-bumbu yang diharamkan. Lebih khusus
mengenai produksi maka apa yang harus diproduksi, siapa yang sebaiknya yang
melakukannya, serta bagaimana cara produksinya menjadi pertanyaan penting yang
harus dijawab melalui proses produksi yang Islami sebagaimana uraian-uraian
terdahulu.
Berbagai prosedur dalam berkonsumsi yang menyangkut berbagai hal sebagaimana di
atas haruslah benar-benar diperhatikan oleh pihak produsen sebagai dasar
pertimbangan dalam melakukan proses produksinya agar dapat mendukung terhadap
tatacara konsumsinya. Jika suatu wilayah sedang sangat membutuhkan terhadap
barang A misalnya, maka produsen haruslah memprioritaskan penyediaan barang A
tersebut. Jika masyarakat B sedang melakukan puasa misalnya, maka produsen
makanan pada masyarakat tersebut haruslah dapat menyesuaikan waktu untuk
penyediaannya. Jika masyarakat memerlukan kenyamanan, maka proses produksi yang
sekiranya dapat mengganggu ketentraman, keselamatan, maupun ketenangan masyarakat
haruslah dilakukan pada tempat-tempat atau wilayah yang lebih kondusif. Jika
konsumen ingin memastikan bahwa barang yang dikonsumsinya itu adalah aman dan
halal, maka produsen haruslah memenuhi dan menunjukkan kriteria tersebut dalam
prosesnya, kemudian memberikan informasi apa adanya. Jika suatu masyarakat
menginginkan bahwa pihak produsen sebaiknya adalah orang-orang yang mereka
kenal dan mereka percaya, maka selagi mampu pelaku produksi haruslah
diprioritaskan pada pihak-pihak yang menjadi kepercayaan masyarakat tersebut,
begitu seterusnya.
Tatacara produksi yang kontradiktif dengan tatacara konsumsinya dapat
menimbulkan saling kecurigaan antara konsumen dan produsen, bahkan dapat
menjurus pada pertikaian antar individu ataupun kelompok masyarakat.
d. Aspek kualitas
Barang yang dikonsumsi tentu harus memenuhi kualitas tertentu baik dalam
kaitannya dengan kehalalan, kesehatan, jenis, maupun karakteristiknya.
Syarat-syarat kualitas tersebut tentu harus menjadi landasan bagi produsen
dalam menentukan jenis barang yang akan diproduksinya. Produsen dilarang
menyediakan barang atau jasa secara semena-mena tanpa memperhatikan kualitas
ataupun kaidah sosial yang dipersyaratkan tentang barang tersebut.
Islam dalam hal ini sangat menghargai
keinginan konsumen dan berusaha untuk menyenangkannya tetapi Islam akan
menyaring hal-hal yang tidak sesuai dengan Islam untuk tidak diproduksi.
Batasan yang diberikan Islam dalam membuat sebuah produk sangat jelas, yang
benar tidak bisa dicampurkan dengan yang salah atas alasan apapun. Islam juga
sangat menekankan kualitas pelayanan tetapi kepuasan konsumen dibatasi dalam
bingkai syari’ah Islam. Produksi dalam Islam tidak boleh sekedar merespon
permintaan pasar begitu saja, tetapi juga harus mengedepankan pemenuhan
moralitas.
Sementara upaya produsen untuk memperoleh maslahah yang maksimum dapat terwujud
apabila produsen mengaplikasikan nilai-nilai Islam. Dengan kata lain, seluruh
kegiatan produksi terikat pada tatanan nilai-nilai Islam yang dalam produksi
dikembangkan dari tiga nilai utama dalam ekonomi Islam, yaitu: khilafah, adil
dan takaful. Semua itu tentu agar kualitas barang yang ada benar-benar sesuai
dengan harapan konsumen dan produsen.
Kualitas barang yang dipersyaratkan dalam konsumsi, apabila tidak diperhatikan
dalam proses produksinya akan dapat menyebabkan rendahnya kepuasan konsumen
dengan biaya yang tinggi, timbulnya berbagai penyakit, timbulnya saling curiga
antara konsumen dan produsen yang dapat menjurus pada pertikaian, dll.
KESIMPULAN
Secara lebih khusus aspek-aspek yang
harus diperhatikan dalam kegiatan konsumsi dan produksi adalah tentang
motivasi, kuantitas, kualitas, dan tatacaranya. Semuanya itu harus selaras dan
simultan diterapkan dalam praktek konsumsi dan produksi sesuai nilai-nilai
Islam yang ada.
Secara umum motivasi dan tujuan
konsumsi dan produksi dalam Islam adalah terpenuhinya kebutuhan secara wajar
dan berkeadilan sebagai sarana ibadah kepada Allah. Orientasi yang harus
dibangun dalam melakukan kegiatan konsumsi dan produksi adalah mengarahkannya
untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Kegiatan konsumsi itu sendiri
harus dalam ukuran-ukuran yang proporsional, dengan menghindari pemborosan,
kemewahan, dll. Dengan demikian kegiatan produksipun otomatis harus dilakukan
dalam jumlah, ukuran maupun proporsi yang sesuai dengan nilai konsumsi yang
diperlukan. Proses konsumsi harus dilakukan dalam waktu dan dengan tata cara
tertentu yang halal, bijaksana, ekonomis, serta relevan dengan misi atau tujuan
pokoknya. Demikian pula dalam proses produksi, semua input harus dimanaj secara
Islami. Barang yang dikonsums harus memenuhi kualitas tertentu baik dalam
kaitannya dengan kehalalan, kesehatan, jenis, maupun karakteristiknya.
Syarat-syarat kualitas tersebut tentu harus menjadi landasan bagi produsen
dalam menentukan jenis barang yang akan diproduksinya. Produsen dilarang
menyediakan barang atau jasa secara semena-mena tanpa memperhatikan kualitas
ataupun kaidah sosial yang dipersyaratkan tentang barang tersebut.
Pelanggaran terhadap keterkaitan
dari aspek-aspek tersebut akan dapat menimbulkan hal-hal negatif bahkan fatal
dalam kehidupan ekonomi, di antaranya: timbulnya banyak penyakit, kelaparan
atau kemiskinan, terjadi atau bertambahnya pengangguran, rendanya kualitas
sumberdaya manusia. Dapat juga berakibat terjadinya over produksi, cepat rusak
atau habisnya sumberdaya alam yang tak terbarukan, perilaku konsumen yang
boros, persaingan yang tidak sehat, labilnya harga, timbulnya kriminalitas,
bahkan dapat menimbulkan pertikaian antar individu atau kelompok masyarakat.
( Dimuat dalam Jurnal
Al-Tahrir STAIN Ponorogo, Vol. 10 No. 1 Juni 2010 )
BIBLIOGRAFI
Abdul Mannan, Teori dan Praktek
Ekonomi Islam (Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta, 1997)
Abu Ishaq as-Syatibi, al-Muwafaqat
fi Ushul al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Fikr, 1341 H), Juz II.
Algifari, Ekonomi Mikro, (Yogyakarta:
STIE YKPN, 2003)
Boediono, Ekonomi Mikro Sinopsis,
(Yogyakarta: BPFE, 2002)
Guritno Mangkusubroto dan Algifari, Teori
Ekonomi Makro Edisi 2 (Yogyakarta:STIE YKPN, 1992)
Hartowo dkk., Pengantar Ilmu
Ekonomi (Jakarta: Karunika Universitas Terbuka, 1985)
Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika
Mikro Islami, (Yogyakarta : Jalasutra), 2003
Monzer Kahf, Ekonomi Islam
(Jakarta : P3EI UII, 2008)
Muhammad Muflih, Perilaku
Konsumen Dalam Perspektif Ilmu Ekonomi Islam. (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2006)
Pratama Raharja dan Mandala
Manurung, Teori Ekonomi Mikro Suatu Pengantar (Jakarta: LPFEUI,2002)
Tim Redaksi, Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2005)
Trenggonowati, Ekonomi Mikro
Edisi Pertama (Yogyakarta BPFE, 2009)
Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan
Moral dalam Perekonomian Islam,(Jakarta: Rabbani Press, 1995)
[1]
Hartowo dkk., Pengantar Ilmu Ekonomi (Jakarta: Karunika Universitas
Terbuka, 1985), h. 186
[2]Tim
Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (Jakarta:
Balai Pustaka, 2005), h. 591
[3]
Algifari, Ekonomi Mikro, (Yogyakarta: STIE YKPN), 2003. h. 57-63. Lihat
pula Pratama Raharja dan Mandala Manurung, Teori Ekonomi Mikro Suatu
Pengantar (Jakarta: LPFEUI,2002), h. 69 -91
[4]
Trenggonowati, Ekonomi Mikro Edisi Pertama (Yogyakarta BPFE, 2009), h.
28.
[5]
http://www.tamzis.com.2010
[6]
Muhammad Muflih, Perilaku Konsumen Dalam Perspektif Ilmu Ekonomi Islam.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 12-13.
[7]
Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam,(Jakrat:
Rabbani Press, 1995)
[8]
Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam (Dana Bhakti Prima Yasa,
Yogyakarta, 1997).h.45-47.
[9]
Monzer Kahf, Ekonomi Islam (Jakarta : P3EI UII, 2008), h. 27.
[10]
Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam (Jakarta: Gema Insani
Press) 1997, h. 139-140.
[11]
Tim Redaksi, h. 896.
[14]
Boediono, Ekonomi Mikro Sinopsis, (Yogyakarta: BPFE, 2002), h. 64.
[17]
Trenggonowati, h.119.
[18]
Pratama Rahardja dan Mandala Manurung, Teori Ekonomi Mikro Suatu Pengantar (Jakarta:
Lembaga Penerbit FEUI, 2002) h.153.
[20]
Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam (Dana Bhakti Prima Yasa,
Yogyakarta, 1997).h. 54.
[21]
Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, (Yogyakarta :
Jalasutra), 2003, h. 156
[23]
Abdul Mannan, h.55-63.
[24]
Iwan’s, Menggagas Konsep Produksi Islami (http://tribuanaekonomia.blogspot.com.2007)
[26]
Abu Ishaq as-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1341 H), Juz II.
[27]
Guritno Mangkusubroto dan Algifari, Teori Ekonomi Makro Edisi 2 (Yogyakarta:STIE
YKPN) 1992, h. 87.